Bab 5
Dinamika Organisasi
Dinamika Organisasi
Dinamika Konflik
Konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak. Timbulnya konflik atau pertentangan dalam organisasi, merupakan suatu kelanjutan dari adanya komunikasi dan informasi yang tidak menemui sasarannya. Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang di bawa individu dalam suatu interaksi.
B. Jenis-Jenis Konflik
Adapun mengenai jenis-jenis konflik, dikelompokkan sebagai berikut :
Person rile conflict : konflik peranan yang terjadi didalam diri seseorang.
Inter rule conflict : konflik antar peranan, yaitu persoalan timbul karena satu orang menjabat satu atau lebih fungsi yang saling bertentangan.
Intersender conflict : konflik yang timbuk karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang.
Intrasender conflict : konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling bertentangan.
Selain pembagian jenis konflik di atas masih ada pembagian jenis konflik yang dibedakan menurut pihak-pihak yang saling bertentangan, yaitu :
¯ Konflik dalam diri individu
¯ Konflik antar individu
¯ Konflik antar individu dan kelompok
¯ Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama
¯ Konflik antar organisasi
Individu-individu dalam organisasi mempunyai banyak tekanan pengoperasian organisasional yang menyebabkan konflik. Secara lebih konseptual litteral mengemukakan empat penyebab konflik organisasional, yaitu :
Suatu situasi dimana tujuan-tujuan tidak sesuai
Keberadaan peralatan-peralatan yang tidak cocok atau alokasi-alokasi sumber daya yang tidak sesuai
Suatu masalah yang tidak tepatan status
Perbedaan presepsi
Didalam organisasi terdapat empat bidang structural, dan dibidang itulah konflik sering terjadi, yaitu :
* Konflik hirarkis adalah konflik antar berbagai tingkatan organisasi
* Konflik fungsionala adalah konflik antar berbagai departemen fungsional organisasi
* Konflik lini-staf adalah konflik antara lini dan staf
* Konflik formal informal adalah konflik antara organisasi formal dan organisasi informal.
Secara tradisional pendekatan terhadap konflik organisasional adalah sangat sederhana dan optimistik. Pendekatan tersebut didasarkan atas tiga anggapan, yaitu :
Konflik dapat di hindarkan
Konflik diakibatkan oleh para pembuat masalah, pengacau dan primadona
Bentuk-bentuk wewenang legalistic
Korban diterima sebagai hal yang tak dapat dielakkan
Apabila keadaan tidak saling mengerti serta situasi penilaian terhadap perbedaan antar anggota organisasi itu makin parah sehingga konsesus sulit dicapai, sehingga konflik tak terelakkan. Dalam hal ini pimpinan dapat melakukan berbagai tindakan tetapi harus melihat situasi dan kondisinya, yaitu :
Menggunakan kekuasaan
Konfrontasi
Kompromi
Menghaluskan situasi
Mengundurkan diri
Bila dilihat sekilas sepertinya konflik itu sangat sulit untuk dihindari dan diselesaikan, tetapi dalam hal ini jangan beranggapan bahwa dengan adanya konflik berarti organisasi tersebut telah gagal. Karena bagaimanapun sulitnya suatu konflik pasti dapat diselesaikan oleh para anggota dengan melihat persoalan serta mendudukannya pada proporsi yang wajar.
C. Sumber-Sumber Konflik
a. Kebutuhan untuk membagi (sumber daya-sumber daya) yang terbatas
b. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tujuan
c. Saling ketergantungan dalam kegiata-kegiatan kerja
d. Perbedaan nilai-nilai atau presepsi
e. Kemandirian organisasional
f. Gaya-gaya individual
D. Strategi Penyelesaian Konflik
Mengendalikan konflik berarti menjaga tingakat konflik yang kondusif bagi perkembangan organisasi sehingga dapat berfungsi untuk menjamin efektivitas dan dinamika organisasi yang optimal. Namun bila konflik telah terlalu besar dan disfungsional, maka konflik perlu diturunkan intensitasnya, antara lain dengan cara :
1. Mempertegas atau menciptakan tujuan bersama. Perlunya dikembangkan tujuan kolektif di antara dua atau lebih unit kerja yang dirasakan bersama dan tidak bisa dicapai suatu unit kerja saja.
2. Meminimalkan kondisi ketidak-tergantungan. Menghindari terjadinya eksklusivisme diatara unit-unit kerja melalui kerjasama yang sinergis serta membentuk koordinator dari dua atau lebih unit kerja.
3. Memperbesar sumber-sumber organisasi seperti : menambah fasilitas kerja, tenaga serta anggaran sehingga mencukupi kebutuhan semua unit kerja.
4. Membentuk forum bersama untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah bersama. Pihak-pihak yang berselisih membahas sebab-sebab konflik dan memecahkan permasalahannya atas dasar kepentingan yang sama.
5. Membentuk sistem banding, dimana konflik diselesaikan melalui saluran banding yang akan mendengarkan dan membuat keputusan.
6. Pelembagaan kewenangan formal, sehingga wewenang yang dimiliki oleh atasan atas pihak-pihak yang berkonflik dapat mengambil keputusan untuk menyelesaikan perselisihan.
7. Meningkatkan intensitas interaksi antar unit-unit kerja, dengan demikian diharapkan makin sering pihak-pihak berkomunikasi dan berinteraksi, makin besar pula kemungkinan untuk memahami kepentingan satu sama lain sehingga dapat mempermudah kerjasama.
8. Me-redesign kriteria evaluasi dengan cara mengembangkan ukuran-ukuran prestasi yang dianggap adil dan acceptable dalam menilai kemampuan, promosi dan balas jasa.
Jenis-
Jenis Konflik
Ada lima jenis konflik dalam kehidupan organisasi, yaitu:
1. Konflik dalam diri individu, yang terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
Ada lima jenis konflik dalam kehidupan organisasi, yaitu:
1. Konflik dalam diri individu, yang terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
2.
Konflik antar individu dalam organisasi yang sama. Hal ini sering disebabkan
oleh perbedaan- perbedaan kepribadian. Konflik ini juga berasal dari adanya
konflik antar peranan seperti antara manajer dan bawahan.
3.
Konflik antar individu dan kelompok, yang berhubungan dengan cara individu menanggapi
tekanan untuk keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok kerja mereka, seperti
seorang individu dihukum atau diasingkan oleh kelompok kerjanya karena
melanggar norma- norma kelompok.
4.
Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama. Karena terjadi pertentangan
kepentingan antar kelompok.
5.
Konflik antar organisasi, yang timbul sebagai akibat bentuk persaingan ekonomi
dalam sistem perekonomian suatu negara. Konflik ini telah mengarahkan timbulnya
pengembangan produk baru, teknologi, harga- harga lebih rendah, dan penggunaan
sumber daya yang lebih efisien.
Sumber-
Sumber Konflik
Faktor-
faktor penyebab konflik beraneka ragam, yaitu:
1. Komunikasi: pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti atau informasi yang mendua dan tidak lengkap serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
1. Komunikasi: pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti atau informasi yang mendua dan tidak lengkap serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
2.
Struktur: Pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-
kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk
memperebutkan sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau
lebih kelompok- kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
3.
Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau nilai- nilai social pribadi karyawan
dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka dan perbedaan dalam nilai-
nilai atau persepsi.
4.
Kelangkaan sumber daya dan dana yang langka. Hal ini karena suatu individu atau
organisasi yang memiliki sumber daya dan dana yang terbatas.
5.
Saling ketergantungan pekerjaan.
6.
Ketergantungan pekerjaan satu arah. Berbeda dengan sebelumnya, ketergantungan
pekerjaan satu arah berarti bahwa keseimbangan kekuasaan telah bergeser,
konflik pasti lebih tinggi karena unit yang dominan mempunyai dorongan yang
sedikit saja untuk bekerja sama dengan unit yang berada di bawahnya.
7.
Ketidakjelasan tanggung jawab atau yurisdiksi. Dalam hal tertentu, pada
dasarnya orang memang tidak ingin bertanggung jawab, terlebih mengenai hal- hal
yang berakibat tidak atau kurang menguntungkan. Apabila hal ini menyangkut
beberapa pihak dan masing- masing tidak mau bertanggung jawab maka kejadian
seperti ini dapat menimbulkan konflik.
8.
Ketidakterbukaan terhadap satu sama lain
9.
Ketidaksalingpercaya antara satu orang dengan orang lain dalam organisasi.
10.
Ketidakjelasan pola pengambilan keputusan, pola pendelegasian wewenang,
mekanisme kerja dan pembagian tugas.
11.
Kelompok pimpinan tidak responsitif terhadap kebutuhan dan aspirasi para
bawahannya.
12.
Adanya asumsi bahwa dalam organisasi terdapat berbagai kepentingan yang
diperkirakan tidak dapat atau sulit diserasikan.
Strategi
penyelesaian Konflik
1. Menghindar
menghindari konfik dapat dilakukan jika isu atau masalah yg memicu konflik tidak terlalu pentin atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkannya.
2. Mengakomodasi
memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur stratei pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain.
3. Kompetisi
gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai anda.
4. Kompromi atau Negosiasi
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, mserta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.
5. Memecahkan masalah
menghindari konfik dapat dilakukan jika isu atau masalah yg memicu konflik tidak terlalu pentin atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkannya.
2. Mengakomodasi
memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur stratei pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain.
3. Kompetisi
gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai anda.
4. Kompromi atau Negosiasi
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, mserta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.
5. Memecahkan masalah
pemecahan sama-sama menang dimana individu yang
terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama.
Motivasi
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang
individu untuk mencapai tujuannya.Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah
intensitas, arah, dan ketekunan.
Berdasarkan
teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan Y Douglas McGregor maupun
teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah alasan yang mendasari
sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang dikatakan
memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang
sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan
pekerjaannya yang sekarang. Berbeda dengan motivasi dalam pengertian yang
berkembang di masyarakat yang seringkali disamakan dengan semangat,
seperti contoh dalam percakapan "saya ingin anak saya memiliki motivasi
yang tinggi". Statemen ini bisa diartikan orang tua tersebut menginginkan
anaknya memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka, perlu dipahami bahwa ada
perbedaan penggunaan istilah motivasi di masyarakat. Ada yang mengartikan
motivasi sebagai sebuah alasan, dan ada juga yang mengartikan motivasi sama
dengan semangat.
Dalam
hubungan antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan seberapa
giat seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi
kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang
menguntungkan organisasi. Sebaliknya elemen yang terakhir,
ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan
usahanya.
Teori Motivasi
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi)
seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam
melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu
sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan
banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam
konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang
motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan
pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya
pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin
Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu
dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2)
frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan
kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan
untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan
yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang
dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu
dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H.
Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi);
(3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor);
(5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom
(teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori
Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi,
2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus
Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167).
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H.
Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat
atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological
needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman
(safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental,
psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4)
kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam
berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization),
dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi
yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis)
dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya
dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya
dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat
klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan
intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena
manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu
tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental,
intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin
banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin
mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional,
teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami
“koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep
“hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat
diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya
ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada
pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan
kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat
pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan
diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang
berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan
bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman
menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara
simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang
bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta
ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat
apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan
sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat
mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan
kualitatif dalam pemuasannya.
Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik
jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat
berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat
teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan
teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih
bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk
mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa
motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi.
Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi
tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang
sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia,
atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen
mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai
standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam
persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan
bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang
berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah
preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2)
menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya
mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran
misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan
mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim
“ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah
yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness
(kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan
pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak
dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori
atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat
dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “
Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep
Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut
Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia
itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak
lebih lanjut akan tampak bahwa :
Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu,
makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih
tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang
tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan
yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat
pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang
dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara
lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi
penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal
dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor
hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional
adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti
bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene
atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti
bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam
kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor
motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih,
kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan
faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang
dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan
seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh
para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi,
kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia
terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi
kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang
pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua
kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih
besar, atau
Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam
melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai
biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya
layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan,
keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi
yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan
sendiri;
Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi
lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai
jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini
berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada
jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para
pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi
organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering
terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat
kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan
perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan
memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan
mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan
meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan
rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif
tentang penetapan tujuan.
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And
Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori
Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang
ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya
akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang
sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya,
yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori
harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk
memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong
untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan
memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan
menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber
daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan
tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan
hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk
mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman
menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang
diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas
di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan
pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti
sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan
diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi
ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar
diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan
“hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi
perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan
perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi
yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik
yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik
tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada
kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi
perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih
teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya
dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah,
yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian
hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang
terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai
ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan
sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada
modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu
model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem
motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model
tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para
pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan
imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri
sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan;
(f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi
seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok
kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi
lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
No comments:
Post a Comment